Paska tragedi di Stadion Kanjuruhan yang mencoreng citra sepakbola Indonesia, perhatian dunia tertuju pada transformasi sepakbola, terutama setelah FIFA mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 5 Oktober 2022 lalu. Dalam surat tersebut, FIFA tidak mengancam sanksi, melainkan mengusulkan langkah-langkah perbaikan untuk sepakbola Indonesia. Salah satu aspek yang dibahas adalah masalah suporter.

Seiring mendekati dimulainya musim Liga 1 2023/2024, Erick Thohir, yang baru empat bulan menjabat sebagai ketua umum PSSI, mengulang pembahasan tentang transformasi sepakbola dalam sebuah konferensi pers di SCTV Tower, pada hari Kamis (15/6), ketika ditanya tentang larangan suporter tandang.

“Di akhir musim Liga 1 sebelumnya (musim 2022/2023), masih terjadi konflik antarsuporter. Padahal sejak awal, saya ingin melaksanakan transformasi sepakbola Indonesia, sesuai arahan FIFA yang tidak mengancam dengan sanksi suspensi kepada Indonesia. Salah satu kunci dari transformasi itu adalah peran suporter,” kata Erick dalam sebuah video yang diunggah di akun resmi YouTube PSSI.

Dengan alasan keamanan, PSSI menerapkan larangan bagi suporter untuk hadir langsung di stadion sebagai penonton tandang dalam pertandingan Liga 1 dan Liga 2. Aturan ini kemudian diadopsi oleh beberapa Asosiasi Provinsi (Asprov) sebagai penyelenggara Liga 3 Indonesia. Terlebih lagi, musim ini jadwal pertandingan sepakbola nasional bertabrakan dengan momentum pesta demokrasi.

Dalam konferensi pers yang sama, Erick menegaskan keinginannya agar suporter dapat kembali ke rumah dengan aman. Sebagai perwakilan PSSI, dia menegaskan bahwa prioritas utama adalah mencegah terjadinya kerusuhan.

“Dalam surat FIFA, dijelaskan bagaimana pihak keamanan bersinergi dengan liga untuk menciptakan lingkungan yang aman. Artinya, apakah liga kita hanya dihadiri oleh suporter tuan rumah? Ya, hingga FIFA melihat kita baik,” tambahnya.

READ  Hasil Piala AFF U-19: Indonesia vs Filipina, Skor 6:0

Kenyataan yang Terus Berkobar

Namun, pada hari pertama Liga 1 (1/7), Kepolisian Solo sudah harus mengatasi suporter yang terlibat dalam insiden penyerangan dan perampasan sepeda motor setelah pertandingan Persis Solo melawan Persebaya Surabaya di Stadion Manahan, yang dimenangkan oleh Bajul Ijo dengan skor 2-3.

Dua minggu kemudian, terjadi kerusuhan antara suporter PSM Makassar ketika mereka menjamu Dewa United (8/7) di Stadion B.J. Habibie, yang berujung dengan skor 1-2, dan bentrok antara kelompok suporter Persik Kediri dengan sejumlah orang yang diduga suporter Arema FC yang berhasil masuk ke Stadion Brawijaya (15/7).

Komite Disiplin PSSI kemudian memberikan sanksi kepada klub-klub terkait, namun masih belum bisa menghentikan aksi kelompok-kelompok tertentu. Belum lama ini, Stadion Jatidiri menjadi saksi pertarungan antarsuporter. Pertandingan PSIS Semarang melawan PSS Sleman (3/12) berakhir ricuh. Menurut laporan CNN, kekerasan mereda saat hujan turun bersamaan dengan akhir babak kedua yang dimenangkan oleh Laskar Mahesa Jenar dengan skor 1-0.

Di tingkat kedua, konflik suporter semakin memanas dan bahkan melibatkan tembakan gas air mata. Yang lebih memprihatinkan, insiden ini terjadi bukan karena rivalitas antara dua klub, tetapi konflik internal suporter dari tim yang sama, bahkan konflik dengan manajemen klub. Ditambah lagi, kebingungan dalam menentukan status penonton yang hadir, karena sulit untuk membedakan apakah mereka adalah suporter tim tamu.

Sanksi yang diberikan oleh Komite Disiplin pun belum memberikan efek yang memuaskan. Menaruh harapan pada suporter agar memastikan tim kesayangan mereka tidak dirugikan di masa mendatang sepertinya tidaklah tepat. Nyatanya, masih saja ada tindakan dari suporter yang telah merugikan terlebih dahulu, seperti merusak fasilitas stadion ketika kecewa dengan hasil pertandingan.

READ  Profil Zahaby Gholy, Bintang Muda Timnas Indonesia U-16 dan Harapan Masa Depan

Jika federasi ingin serius mengatasi budaya kerusuhan dalam sepakbola nasional, langkah-langkah strategis yang tidak hanya menghukum klub atas perilaku suporter mereka harus diambil. Sebagaimana yang telah disampaikan Ketua Umum PSSI sesuai arahan FIFA, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) juga harus turut serta dalam proses ini.

Transformasi yang diidamkan tidak harus bersifat radikal dan seketika, tetapi yang terpenting adalah efektivitasnya. Hal ini dapat dimulai dengan merencanakan mekanisme mobilitas agar jalur suporter tandang tidak beririsan dengan suporter tuan rumah. Selain itu, pengawasan terhadap barang-barang yang dibawa masuk ke area stadion juga perlu diperketat.

Jika pelanggaran masih terjadi, Komite Disiplin PSSI harus bertindak tegas terhadap para pelanggar dengan memberikan sanksi kepada suporter, bukan hanya memberikan hukuman kepada klub. Bahkan dalam kasus pelanggaran yang berat, PSSI harus memberlakukan larangan masuk ke stadion, bahkan mungkin seumur hidup.

Tentu saja, kolaborasi dari semua pihak diperlukan untuk menciptakan atmosfer pertandingan yang sehat. Ini termasuk kebijakan dari federasi, pengamanan dari kepolisian, manajemen stadion dari panitia penyelenggara, dan suporter klub. Seperti yang disebutkan dalam surat kepada Presiden RI dari FIFA, “Suporter harus diundang untuk menjadi bagian dari reformasi, untuk memberikan umpan balik dan pandangan mereka, melalui kesepakatan dan kerangka kerja, yang bertujuan untuk mencegah lebih dini situasi eskalasi risiko tinggi dan kekerasan.”

Dari apa yang disampaikan FIFA, saatnya federasi melihat potensi lain dari kehadiran suporter tamu. Pertemuan antara dua kelompok yang berseberangan dapat menjadi momentum yang tepat untuk rekonsiliasi jika mereka bertemu dalam satu stadion. Ini adalah langkah penting menuju pembaruan yang sesungguhnya dalam sepakbola Indonesia.

READ  Piala Presiden 2024: Persis Solo 2:1 Persib Bandung

Penolakan dari Para Suporter

Beberapa kelompok suporter telah mengungkapkan penolakan mereka terhadap larangan suporter tandang, yang dianggap semakin memperburuk hubungan antarsuporter. Tanpa kehadiran suporter tandang, tim tamu kehilangan dukungan dan atmosfer di tribun menjadi tidak seimbang.

Ketua Pasoepati, Agos Warsoep, berbicara tentang pentingnya pertemuan suporter tandang dengan suporter tuan rumah sebagai ajang silaturahmi. Menurutnya, pertemuan ini dapat mempererat hubungan antara kedua kelompok suporter. “Jika tidak pernah bertemu, maka tidak akan pernah ada kesepakatan,” katanya.

Pesan yang sama disampaikan oleh koordinator Bonek Green Nord, Husin Ghozali. Dia menyayangkan larangan ini dan menyarankan agar PSSI memikirkan cara lain untuk menyelesaikan masalah antarsuporter. “Keputusan ini memberatkan, baik untuk klub atau suporter. Saya kira, alasan larangan ini bukan hasil kesepakatan klub atau federasi, tetapi hanya kesepakatan beberapa pihak. Atau mungkin ini hanya langkah pengamanan di tahun politik dari federasi,” ujarnya.

Ketua Umum Viking Persib Club, Tobias Ginanjar Sayidina, juga setuju bahwa larangan ini tidaklah tepat. Menurutnya, mengizinkan suporter tandang untuk hadir akan memudahkan koordinasi. Baginya, suporter harus diberikan kepercayaan dan perlindungan yang lebih baik agar mereka dapat hadir di stadion dan mendukung tim mereka dengan aman.

“Sangatlah jelas bahwa mengizinkan suporter tandang untuk hadir akan mempermudah koordinasi dengan pihak keamanan dan suporter lawan. Jadi, ini akan menjadi solusi yang lebih baik daripada membiarkan masalah berkembang tanpa terkendali,” jelas Tobi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here